Headlines News :
Home » » Kisah Harry Burton Si Wartawan Perang Meliput Konflik Aceh

Kisah Harry Burton Si Wartawan Perang Meliput Konflik Aceh

Written By Unknown on Saturday, October 27, 2012 | 1:55:00 AM

Tulisan ini yang ditulis Win Wan Nur beberapa tahun lalu ini diangkat kembali dalam rangka peringatan HUT The Globe Journal yang ke-5. Kisah ini menggambarkan bagaimana dedikasi seorang wartawan untuk memberikan pemberitaan kepada publik harus dibayar mahal dengan nyawa. Semoga story seperti ini dapat menjadi penyemangat bagi kita. Selamat menikmati.
Hari ini**, tujuh tahun yang lalu aku disewa oleh team Reuters untuk menjadi interpreter bagi wartawan dan kameramen mereka, aku disewa untuk menemani mereka untuk meliput suasana HUT kemerdekaan RI di Aceh. Wilayah yang akan kami tuju sebagai tempat liputan adalah markas GAM wilayah Pasee di Lhokseumawe sana. 
Jam 8 Pagi sesuai janji, di depan hotel Kuala Tripa, aku bertemu dengan Team Reuter yang terdiri dari Terry Friel (senior reporter), Bea Wiharta (fotografer) dan Harry Burton (kameramen), dalam melakukan liputan ini kami ditemani oleh Bang Popon sebagai driver yang menyopiri sendiri mobil Toyota Kijang warna hijau miliknya.
Sesaat sebelum berangkat anggota Team ini bertambah satu orang lagi, Murizal Hamzah *** wartawan Suara Kutaraja yang konon diajak serta oleh Bea Wiharta (kusebut konon karena aku sendiri tidak tahu persis bagaimana ceritanya Murizal jadi ikut bersama kami, karena Mufi yang menjadi penghubungku dengan Reuters sebelumnya mengatakan cuma aku sendiri yang menjadi interpreter).

Foto: Murizal Hamzah, pendiri The Globe Journal

Setelah semuanya beres kami langsung berangkat, dalam kota Banda Aceh suasana terasa biasa saja. Tapi sejak melewati simpang Surabaya, suasana lengang langsung terasa, maklumlah saat itu GAM yang sejak bergulirnya reformasi posisinya sudah semakin menguat dan semakin mendapatkan simpati di berbagai pelosok Aceh mengeluarkan maklumat supaya rakyat Aceh memboikot peringatan ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-56 saat itu.
Dan sepertinya sejauh ini seruan itu berhasil, entah itu karena dilaksankan dengan sukarela ataupunkarena khawatir akan keselamatan pribadi. Jalan Banda Aceh-Medan yang biasanya ramai dengan lalu lintas. Entah itu sepeda motor, labi-labi, bus antar kota dan truk pengangkut barang saat itu lengang dan tidak ada satu kendaraan lain pun yang melintas kecuali mobil Toyota Kijang milik Bang Popon yang kami tumpangi.
Selain berhenti di beberapa pos tentara untuk pemeriksaan kami tidak mendapat hambatan apa-apa sampai ke Seulimum. Di beberapa pos tentara Terry bahkan tampak akrab dengan tentara yang memeriksa identitas kami karena ternyata Pak Tentara yang memeriksa kami tersebut mantan anggota pasukan Garuda yang pernah bertugas menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB di Kamboja. Saat itu Terry juga pernah bertugas meliput di sana.Terry dan Pak Tentara tersebut saling bercakap dengan beberapa potong bahasa Khmer.
Baru setelah melewati Seulimum, di sebuah belokan menanjak tidakjauh dari simpang desa Teladan, perjalanan kami terhambat karena di tengah badan jalan yang sedianya akan kami lewati dipenuhi dengan rebahan batang pohon entah itu pohon pelindung jalan maupun pohon kelapa. Bahkan di tengah badan jalan ada sebuah gardu jaga beratap rumbia yang diletakkan terlentang, yang sepertinya sengaja ditebang dan diletakkan di sana oleh anggota GAM untuk mensukseskan maklumat yang mereka keluarkan.
Bang Popon menghentikan mobilnya, lalu kami semua keluar dari mobil untuk memeriksa keadaan disekitar tempat itu. Aku dan Harry sempat minum air kelapa muda dari buah kelapa yang kami petik dari pohon yang sengaja ditumbangkan itu.

Foto: Win Wan Nur, sang interpreter


Kami berada di sana sekitar 15 menit, tanpa ada orang lain. Bang Popon meminta saya untuk membujuk Terry yang menjadi kepala

rombongan untuk kembali saja ke Banda Aceh, tapi Murizal yang korannya banyak memuat aktivitas GAM bahkan sering menampilkan foto-fota aksi almarhum ayah Teungku Abdullah Syafi'ie, menolak ide itu.

Karena dia yakin pasti ada anggota pasukan GAM yang berada disekitarsana dan dia akan mencoba bernegosiasi agar mereka mengijinkan kamilewat.

Ternyata Murizal benar, di sebuah jalan tanah di balik semak-semakada tiga orang yang mengenakan kaos hitam lengan panjang yangmenenteng senjata AK-47 di punggung memandang ke arah kami danmemberi kode untuk mendekat.

Murizal mengangkat kartu identitas wartawannya dan menghampiri ketiga orang itu, saya mengikutinya dari belakang, sementara Bang Popon dan ketiga wartawan Reuters menunggu di badan jalan.

Murizal kemudian dalam bahasa Aceh menjelaskantujuan kami melintas di jalan itu yaitu ingin meliput suasana HUTkemerdekaan RI di markas GAM wilayah Pasee dan sepertinya Pimpinan pasukan GAM itu memaklumi maksud kami. Apalagi melihat bersama kami ada 2 orang asing.

(Saat itu dibandingkan wartawan nasional GAM memang lebih welcome terhadap wartawan asing karena dianggap lebih netral dalam memberitakan situasi Aceh saat itu, tidak seperti wartawan dalam negeri yang jelas sekali keberpihakannya kepada RI dan selalu memojokkan GAM).

Tapi menurut si pimpinan pasukan, maksud kami tersebut sulit sekali untuk dilaksanakan karena di sepanjang jalan itu mulai dari sana sampai ke Saree seluruh badan jalan telah dipenuhi batang kayu yang sengaja mereka tebang dan mereka tidak mungkin untuk membersihkan semuanya.

Kami hampir memutuskan untuk kembali ke Banda Aceh, ketika kemudian seorang informan GAM memberitahukan melalui HT kalau ada pasukan RI lengkap dengan panser mendekat ke arah sana. Oleh si pimpinan pasukan kami cepat-cepat disuruh kembali ke jalan dan dia pun menghilang dalam rimbunan semak. Dan benar saja tidak lama kemudiandatang sepasukan Brimob lengkap berjalan kaki dengan didampingi panser dan truk yang bagian dalam baknya dilapisi gelondongan pohon kelapa untuk menahan peluru.

Ketika melihat kami berada di sana, komandan regu pasukan itu bertanya maksud keberadaan kami di sana yang kami jawab untuk meliput suasana perayaan HUT RI di Aceh, dan kami pun juga bertanya maksud keberadaan mereka di sana yang mereka jawab untuk menjemput Gajah dari Saree serta rombongan peserta HUT RI dari Sigli untuk ikut merayakan perayaan HUT RI ke-56 di Blang Padang.

Saat itu Pemerintah Aceh melalui Gubernur Abdullah Puteh yang dipilih oleh anggota DPRD siluman**** memang berusaha keras memberikan kesan kepada dunia bahwa Aceh aman terkendali dan perayaan HUT RI di Banda Aceh aman dan semarak. Untuk maksud itu seluruh wartawan stasiun TV dan koran Nasional sudah bersiaga di Blang Padang untuk meliput 'kesuksesan' dan kemeriahan HUT RI di Banda Aceh.


**** Saya menyebut anggota DPRD siluman karena Pemilu 1999 di Aceh gagal total tanpa dihadiri pemilih, seruan boikot pemilu yang dikumandangkan aktivis mahasiswa saat itu benar-benar dituruti warga Aceh. Saya tahu persis keadaan ini karena saat itu saya sendiri bertugas sebagai pemantau independen dan tidak satupun pemilih yang hadir di TPS yang saya pantau. Tapi meskipun tidak ada pemilih tetap ada anggota DPRD ada ada anggota DPR-RI yang mewakili Aceh.

Dari beberapa wawancara yang pernah aku lakukan saat menemani wartawan asing yang menyewaku aku tahu kalau anggota DPRD siluman yang sangat pro Jakarta ini pulalah yang pertama kali mengusulkan diberlakukannya Syari'at Islam dan pembentukan kembali Kodam Iskandar Muda di Aceh, semua mereka lakukan untuk meredam simpati masyarakat Aceh terhadap GAM.****

Kepada komandan regu pasukan itu kami meminta izin untuk ikut bersama mereka dan beliau tidak keberatan, mereka menanyakan kalau-kalau kami bertemu anggota GAM di sekitar situ dan kami jawab tidak ada.

Lalu anggota pasukan itu bersiaga di sekiar pohon tumbang tersebut sementara anggota pasukan lain dengan mesin chain-saw memotong batang-batang pohon yang terlentang di badan jalan itu menjadi potongan kecil-kecil dan menyingkirkannya dari badan jalan. Salah seoarang anggota pasukan menyingkirkan gardu jaga bertiang danberpapan kayu serta beratap rumbia dari tengah jalan lalu membakarnya.

Harry dengan sigap mengarahkan kameranya untuk merekam momen itu demikian juga dengan Bea.

Setelah badan jalan bersih, kami melanjutkan perjalanan pelan-pelan di belakang pasukan Brimob yang berjalan kaki. Untuk merekam suasana sepanjang jalan Harry kadang bergantungan di panser atau di bak truk yang dilapisi balok pohon kelapa itu atau bis milik Pemda yang juga ikut dalam rombongan yang rencananya akan digunakan untuk mengangkut rombongan peserta upacara dari Sigli.

Kadang pasukan Brimob itu berhenti ketika mendapati rumah yang terletak di pinggir jalan. Mereka menggedor pintu rumah-rumah itu bermaksud menanyai pemiliknya siapa pelaku penebangan pohon di depan rumah mereka.

Tapi dari sekian banyak rumah yang kami temui di sepanjang jalan yang kami lalui tidak satupun di antara jejeran rumah di pinggir jalan ituyang ditinggali penghuninya. Sepertinya pemilik rumah-rumah itu memilih untuk mengungsi. Aku sangat maklum kenapa para pemilik rumah-rumah itu memilih mengosongkan rumah mereka.

Beberapa jauh berjalan, kami mendengar suara tembakan dari dalam semak-semak, para pasukan Brimob yang berjalan paling depan langsung mengarahkan senjata mereka ke arah suara tembakan dan menghamburkan peluru dari moncong senjata mereka. Pasukan yang berada di belakang berlarian ikut mengejar dan memuntahkan peluru ke arah yang sama.
Harry merekam semua dengan kamera yang dia gendong di bahunya. Bea juga dengan sigap menjepretkan kameranya.

Foto: Harry Burton 




Kami mendengar suara tembakan lagi tapi suaranya terdengar menjauh, sepertinya yang melepaskan tembakan itu memancing anggota Brimob untuk mengejarnya ke dalam semak-semak. Tapi pasukan Brimob yang berjalan bersama kami tidak terpancing dan memilih melanjutkan perjalanan dengan sikap yang lebih siaga.

Kami terus melanjutkan perjalanan, pasukan Brimob membersihkan setiap batang pohon yang merintangi jalan. Setiap melewati areal persawahan yang di tengahnya ada lahan kering bersemak atau rawa-rawa berhutan rumbia, para anggota pasukan itu segera menyiramkan peluru dari moncong senjata mereka ke arah yang dianggap bisa dijadikan tempat bersembunyi pasukan GAM tersebut.

Aku yang ikut berjalan dan kadang naik ke bis dalam rombongan mereka mencoba mengakrabkan diri dengan para anggota pasukan Brimob yang berjalan di bawah terik matahari disamping Panser dengan sikap siaga, dengan peluh yang menetes dari kening dan wajah mereka.

"Capek ya pak jadi anggota pasukan begini", kataku mencoba mengajaknya mengobrol.

"Iya…tapi udah gini selalu kalian tulis kami ini suka melanggar HAM kan", kata anggota Brimob yang kuajak mengobrol tegas, tapi tidak dengan nada marah.

Kami terus berjalan bersama mereka sampai akhirnya kami melewati Saree dan tidak ada lagi pohon tumbang di badan jalan kami berpisah.

Kepada anggota pasukan Brimob kami berpamitan dan kami pun melanjutkan perjalanan tanpa hambatan. Dan jalan benar-benar lengang kami sama sekali tidak pernah berpapasan atau mendahului kendaraan lain. Hanya Kijang Hijau milik Bang Popon inilah satu-satunya kendaraan yang melintas di jalan utama yang menghubungkan Banda Aceh dan Medan itu. '

Melihat lancarnya perjalanan, kami yakin akan bisa sampai di Lhokseumawe sebelum malam, dan kami memang harus sampai sebelum malam. Karena kalau malam, maka GAM lah yang akan menguasai keadaan dan kami khawatirkan mereka akan kembali menebangi pohon di sepanjang jalan dan kami tidak akan mungkin bisa sampai di Lhokseumawe.

Tapi sampai di Trieng Gading terjadi sesuatu yang tidak kamiinginkan, ban mobil Bang Popon pecah dan kami tidak berani mengambil resiko melanjutkan perjalanan tanpa ban serep. Mau tidak mau kami terpaksa berhenti dan mencari tempat tambal ban. Setelah mencari sekian lama akhirnya tempat menambal ban itu kami temukan.

Ketika perjalanan kami lanjutkan hari mulai sore di tambah dengan berhenti di setiap pos tentara dan polisi di sepanjang jalan untuk pemeriksaan identitas. Meskipun prosesnya tidak terlalu lama karena keberadaan Terry dan Harry bersama kami. Kami tetap tidak bisa mencapai Lhokseumawe sebelum malam.

Ketika kami tiba di Jeunib hari sudah mulai gelap, anggota Kostrad yang memeriksa kami di pos Jeunib menyarankan untuk melanjutkan perjalanan besok pagi saja. Tapi kami menolak dan kemudian melanjutkan perjalanan. Tapi baru sekitar tujuh menit kami berjalan kami kembali terhalang oleh sebuah pohon kelapa yang sengaja ditumbangkan. Kami berhenti dan setelah berdiskusi sebentar kami memutuskan untuk kembali ke arah Jeunib.

Tapi ketika Bang Popon berencana memutar mobil, terdengar sebuah letusan senjata yang diikuti teriakan.

"Berhenti", bentak suara itu yang diikuti sebuah suara tembakan lagi yang suaranya berasal hanya beberapa meter di depan kami.

Tapi kamisama sekali tidak melihat si penembak karena suasana sangat gelap dan satu-satunya cahaya yang ada hanya lampu mobil bang popon.

"Tangan ke atas mobil", bentak suara itu lagi yang lagi-lagi diikuti suara tembakan.

Menghadapi sistuasi antara hidup dan mati seperti ini entah kenapa aku tidak gugup, mungkin itu karena sebelumnya aku pernah beberapakali mengalami situasi nyaris mati. Waktu aku masih berumur 4 tahun aku pernah hanyut dan hampir tewas tenggelam di Isaq.

Waktu naik Burni Kelieten aku juga pernah hampir mati kedinginan dengan dua temanku karena hujan dan tenda kami bocor.

Juga waktu demo reformasi 98 sehari menjelang kejatuhan Soeharto aku pernah diburu-buru aparat.

Aku melihat ke arah Terry dan Harry kulihat keduanya tenang demikian juga dengan Bang Popon.

"Semua maju ke depan" perintah suara itu lagi dengan dengan tekanan pada huruf S seperti bacaan hijaiyah huruf 'tsa' yang seperti biasa diikuti suara tembakan. Bea hanya diam. Murizal terlihat gelisah.

"Win minta Terry dengan Harry di depan", kata Murizal yang tampak gugup.

"Orang ini nggak akan sembarangan nyerang orang asing", tambah Murizal.

Tapi aku berpikir sebaliknya, kupikir harus kami yang didepan karena kami yang mengerti bahasa Aceh sehingga bisa bernegosiasi dengan mereka, karena itu aku maju duluan.

"Tiarap", perintah suara itu lagi dan lagi lagi diikuti tembakan.

Aku yang berada di depan langsung tiarap yang langsung diikuti angota rombongan yang lain di belakangku.

"Kami wartawan pak", teriak Bea yang keturunan ambon yang katanya pernah tertembak di paha saat meliput di Timor-timur dengan aksen Jawa.

Mendengar aksen Bea aku jadi sedikit khawatir pasukan yang menghadang kami jadi emosi. Soalnya waktu itu banyak kejadian anggota intel yang menyaru sebagai wartawan. "Kacau ini" pikirku.

Tapi Murizal cepat-cepat menimpali dalam bahasa Aceh "Kamoe wartawan Teungku", kata Murizal sambil mengangkat kartu identitasnya.

Mereka kemudian menyuruh Bang Popon naik ke mobil dan memutar kendaraan agar cahaya lampu kendaraan itu mengarah ke kami. Dan kami tetap tidak dapat melihat apa-apa. Malam itu sangat gelap tanpa ada cahaya bulan.

Salah seorang anggota pasukan yang menghadang kami itu, mendekati kami dan memeriksa identitas kami. Ketika mengetahui kami benar-benar rombongan wartawan dia menyuruh kami berdiri dan suasana punlangsung cair.

Apalagi kemudian salah seorang dari anggota pasukan itu ternyata mengenalku, karena setahun sebelumnya aku pernahmenemani wartawan New Yorker sekaligus Senior Political Analist dari ICG bernama Anna Husarska untuk bertemu dengan komandan mereka Tgk. Darwis Jeunib.

Saat itu aku dan Anna sempat diajak oleh Teungku Darwis untuk memeriksa barisan pasukan beliau di markasnya disekitar daerah Plimbang. Tampaknya anggota yang menghadang ini adalah salah satu anggota pasukan yang ada dalam barisan dulu.

Dengan ramah mereka kemudian menyarankan kami untuk kembali ke Jeunib dan bermalam di sana, karena menurut mereka malam ini situasi sangat tidak aman bagi kami, masih menurut mereka, keberadaan mereka di sana adalah untuk menghadang pasukan RI yang melintas.

Melihat suasana yang sudah cair, Harry tidak ingin meyia-nyiakan kesempatan, dia segera memasang tripod-nya dan memasang kamera, meminta pasukan yang tadi menghadang kami kembali ke posisi semula seperti saat menghadang kami tadi. Mereka tidak keberatan tapi sebentar saja dan harus buru-buru.

Kata pimpinan pasukan itu, karena menurut informasi yang dia terima dari informannya sekitar 10 menit lagi akan ada REO (kendaraan pengangkut pasukan RI) akan melintas. Dan mereka akan melakukan penghadangan, Harry setuju dan mereka segera tiarap dan mengarahkan moncong AK-47 mereka ke arah kami.

Setelah Harry mengambil gambar komandan pasukan penghadang itu menyuruh kami cepat-cepat membereskan peralatan dan segera kembali ke Jeunib karena mereka akan segera melakukan pertempuran.

Kami kembali dengan terburu-buru, dan belum jauh kami berjalan kami mendengar suara tembakan sahut-menyahut, sepertinya pertempuran sudah terjadi. Akhirnya kami gagal meliput acara HUT kemerdekaan di Pasee.

Malam itu kami menginap di POM Bensin Jeunib, penduduk setempat berdatangan mendatangi kami, mereka dengan sukarela membantu kami membelikan makanan.

Harry mengeluarkan peralatan editingnya mengeluarkan antena dan mengirimkan gambar-gambar yang seharian ini kami dapatkan melalui satelit ke kantor Reuters untuk Asia Tenggara di Singapore.

Terry dengan antusias menelpon istrinya yang juga wartawan menceritakan apa yang baru kami alami, lebih dari sejam mungkin dia menelpon istrinya dengan menggunakan earphone sambil berjalan mondar-mandir di POM bensin itu.

"Apa istri kamu khawatir," tanyaku pada Terry ketika dia selesai menelpon.

"Nggak dia iri, dia kesal kenapa dia nggak ada di sini mengalami apa yang kita alami tadi", jawab Terry.

Besoknya, tanggal 17 Agustus 2001 kami bangun pagi-pagi dan melihat tentara yang berjaga di Pos Jeunib berbaris menuju lokasi kami dihadang tadi malam. Di depan setiap rumah terpancang tiang dengan bendera merah putih. Kemudian seluruh penduduk diperintahkan untuk berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara bendera.

Setelah selesai upacara kami melanjutkan perjalanan ke Lhokseumawe, kali ini perjalanan kami lancar jalan-jalan sudah dibersihkan dari berbagai rintangan baik pohon kelapa maupun tiang listrik.

Murizal mengatur pertemuan dengan pasukan GAM di sana untuk melakukan upacara, kami tidak dapat bertemu dengan Abu Sofyan Dawood komandan wilyah Pasee. Tapi kami berhasil bertemu dengan Gubernur Wilayah pasee dan Amri Bin Abdul Wahab komandan komando pusat Tiro.

Belakangan beberapa tahun kemudian setelah aku tidak lagi tinggal di Aceh, aku lihat ditelevisi dia berbalik mendukung RI, (belakangan juga ketika aku membaca Serambi, kubaca Serambi mengutip pernyataan Abu Sofyan Dawood yang diwawancarai Reuters tanggal 17 agustus 2001, rupanya Terry menyangka Amri yang dia wawancarai adalah Abu Sofyan Dawood sehingga berita yang diterima seluruh media di dunia secara salah kaprah menyebut yang kami wawancarai saat itu adalah Abu Sofyan Dawood bukan Amri).

Wawancara kami lakukan dengan santai di sebuah tambak udang di bawah pengawalan pasukan GAM. Sebagai tuan rumah Amri dan Gubernur Pasee melayani kami dengan sangat baik dan ramah. Mereka membelikan kami masing-masing sebotol sprite.

Kembali dari sana kami sedikit melakukan peliputan di kota Lhokseumawe dan malamnya menginap di guest house PT.Arun yang di jaga ketat siang dan malam.

Saat berada di guest house tersebut itu ada satu hal yang tidak pernah bisa lagi aku lupakan. Ketika kami berada di kamar aku berbincang-bincang dengan Harry.

Kutanyakan apakah dia merasa takut waktu kami dihadang malam kemarin.

"Tidak", jawab Harry.

"Apa kamu nggak takut mati?", tanyaku lagi.

"Nggak, malah kalau harus mati, kupikir seperti kemarin itulah waktu yang paling tepat untuk mati", jawab Harry tenang.

Kata-kata Harry itu terus kuingat.

Tiga bulan kemudian, November 2001, Amerika menyerang Afghanistan. Aku lihat di Metro malam ada berita yang mengabarkan tentang rombongan wartawan yang tewas menjadi korban, kabarnya ada seorang wartawan Reuters yang ikut tewas.

Melihat berita itu aku langsung teringat apa yang kami alami 3 bulan sebelumnya, aku teringat pada jawaban Terry yang menelpon istrinya dan jawaban Harry ketika kutanya perasaannya saat menghadapi maut.

Pagi harinya, seperti biasa bangun tidur dan mencuci muka aku keluar dari kamar kost-ku aku keluar untuk minum teh setengah panas dan makan indomie soto Medan di warung Selekta di simpang jalan cumi-cumi Lamprit di ujung jalan tempat kost-ku.

Aku membuka lembar koran Serambi penasaran ingin mengetahui lebih detail berita yang kulihat tadi malam. Dan ketika lembaran koran itu aku buka, aku benar-benar kaget melihat foto Harry yang sedang merekam suasana demonstrasi di DPR tahun 1998 terpampang di salah satu kolom berita Serambi. Dibawahnya memuat berita bahwa Harry adalah salah satu wartawan yang tewas dalam serangan kemarin.

"Kalau harus mati, kupikir seperti kemarin itulah waktu yang paling tepat untuk mati," kata-kata Harry ini kembali terngiang di kepalaku.
Harry akhirnya benar-benar mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu.


Foto: Harry Burton menenteng kameranya sigap



Dua bulan yang lalu, aku kebetulan berkesempatan main ke Bali. Aku mampir ke Nyuh Kuning, sebuah desa di pinggiran Ubud mengunjungi seorang teman lama asal Aceh bernama Dandy M

ontgomery yang juga seperti Almarhum Harry Burton berkarir sebagai kameramen.

Di sana aku bertemu dan berbincang cukup lama dengan Dandy dan istrinya yang juga pernah lama jadi wartawan yang juga teman lamaku semasa di Banda Aceh dulu bernama Rayhan yang sempat lama berkarir di detik.com.

Sekarang mereka menetap di Bali karena merasa Bali adalah tempat yang ideal untuk membesarkan dua buah hati mereka.

Dalam sebuah obrolan Dandy menceritakan kepadaku kalau dia pernah hampir mendapatkan penghargaan Harry Burton Awards. Mendengar nama ini disebut aku tersentak rupanya sekarang nama Harry telah diabadikan untuk nama sebuah penghargaan bagi kameramen terbaik.

Kupikir ini sebuah penamaan yang pantas untuk mengenang seorang kameramen pemberani dan berdedikasi yang pernah kukenal ini. Mendengar cerita Dandy aku kembali teringat pengalaman bersama Harry malam itu.

Hari ini ketika tanggal dan bulan yang sama dengan hari saat kami pernah hampir mati bersama-sama dulu berulang kembali. Aku tergerak menuliskan cerita ini untuk sekedar mengingat sepenggal kisah semasa hidup teman kita yang bernama Harry Burton ini.

Dan sekaligus mengingatkan kita betapa tidak nyamannya suasana di Aceh kita tercinta di tanggal dan bulan yang sama dengan hari ini tujuh tahun yang lalu.

Mudah-mudahan cerita ini bisa dijadikan sebagai cermin bagi kita. Dan semoga pula Aceh tidak pernah lagi mengalami suasana mencekam dan penuh teror seperti tujuh tahun yang lalu, semoga kedamaian yang sudah kita dapatkan ini tidak lagi diusik dengan berbagai manuver politik dari berbagai elit politik yang menginginkan keuntungan sesaat bagi diri dan kelompok kecilnya dengan mengorbankan mahalnya suasana damai yang sudah kita dapatkan sekarang.

Buat Harry, dengan terkabulnya harapanmu semoga sekarang kamu bisa tersenyum di alam lain sana. Alam yang entah kamu percaya atau tidak keberadaannya di masa hidupmu dulu.


* Win Wan Nur adalah penulis independen yang berasal dari tanah Gayo. Tulisan ini dimuat di SuperKoran.Info pada 16 August 2008 sebagai sebuah In Memoriam untuk Harry Burton (23 January 1968 – 19 November 2001) yang tewas dalam peliputan di perang Afghanistan.

** 16 Agustus 2008, ketika Win Wan Nur menpublish tulisan ini untuk pertama kalinya.
*** Murizal saat ini adalah salah seorang editor di Beritasatu.com, Jakarta. Pada tahun 2007, Murizal bekerja mendirikan Koran Online The Globe Journal. Di The Globe Journal saat ini Murizal masih aktif sebagai wartawan senior yang membimbing banyak wartawan muda. Selama masa konflik Aceh, Murizal juga aktif sebagai wartawan AcehKita.com.

By. theglobejournal
Petikan : Win Wan Nur *
Share this article :

0 komentar:

 
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Visit Aceh - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Fuad Heriansyah
Copyright ©