Headlines News :
Home » » Menyusuri Jejak Perjuangan Cut Nyak Meutia

Menyusuri Jejak Perjuangan Cut Nyak Meutia

Written By Unknown on Sunday, November 25, 2012 | 6:01:00 AM



Menurut Zakaria Ahmad, dkk dalam bukunya Lintas Perjuangan Cut Nyak Meutia, Sosok Pejuang Wanita Aceh, daerah Keureuto adalah suatu daerah dalam wilayah Kesultanan Aceh yang mempunyai uleebalangnya sendiri, terletak di daerah Kabupaten Aceh Utara sekarang. Daerah uleebalangnya Keureuto diperkirakan mencakup daerah dari Krueng Pase sampai ke Panton Labu yakni aliran Krueng Jambo Aye. Pusat pemerintahan berpusat di daerah Jiraat Manyang yang terletak lebih kurang 20 km dari Kota Lhokseumawe sekarang. Keureuto menempati kedudukan yang penting di antara daerah-daerah uleebalang lainnya dalam pemerintahan Kesultanan Aceh.

Keureuto merupakan sebuah wilayah yang makmur pada masa itu, penduduknya juga sangat padat sehingga pemimpin daerah digelari Keujruen Lalat. Untuk sekedar gambaran mengenai penduduk daerah ini dapat kita lihat statistik tahun 1941 dari 71.500 jiwa penduduk Onderafdeling Lhok Sukon, 58.000 jiwa di antaranya adalah penduduk daerah Keureuto (daerah Keureuto yang telah diperkecil oleh Belanda). Uleebalang Keureuto juga sering diikutsertakan oleh sultan dalam musyawarah yang dilakukan sultan di Bandar Aceh Darussalam.

Daerah uleebalang Kerueto dapat dikatakan suatu federasi dari beberapa daerah, sedangkan dari daerah itu, (10 buah) merupakan daerah inti yang diperintah langsung oleh Teuku Chik, selain itu ada delapan daerah yang disebut uleebalang Lapan (hulubalang delapan), yang diperintah uleebalang secara turun-temurun dengan kedudukan uleebalangcut. Sebaliknya empat daerah yang disebut uleebalangpeut diperintah oleh dewan Tuha Peut. Salah satu daerah Tuha Peut yang terkenal dalam melawan penajajahan Belanda adalah daerah peut “Pirak”, yang merupakan daerah asal Cut Nyak Meutia.

Wewenang Tuha Peut yang paling nyata di masa lalu adalah pengadilan, hingga Teuku Chik tidak dapat memutuskan suatu perkara tanpa adanya persetujuan tuha peut. Di samping itu, ada lagi daerah yang dikuasai uleebalangcut. Umumnya ini adalah daerah yang baru dibuka dengan kompleks tanaman-tanaman lada yang dibuka atas anjuran dan bantuan keuangan dari Teuku Chik, karena itu uleebalangcut selalu bergantung kepada Teuku Chik. Bilamana daerah yang dikuasai Tuha Peut dan daerah-daerah yang dikuasai uleebalangcut dibandingkan, maka daerah Tuha Peut lebih bebas dan lebih berkuasa dari pada daerah yang dipimpin oleh uleebalangcut.

Uleebalang yang pertama memerintah daerah keuleebalangan Keureuto ialah Teungku Keujruen Peugamat dan yang terakhir hingga Indonesia Merdeka ialah Teuku Raja Sabi. Salah seorang uleebalang yang terkenal yang memerintah daerah keuleebalangan Keureuto ialah Cut Nyak Asiah, yang oleh penduduk disebut Cut Nyak Jiraat Manyang. Ia menggantikan suaminya yang bernama Teuku Chik Muda Ali. Ia cakap memerintah daerahnya, disayangi rakyatnya dan hulubalang bawahannya. Cut Nyak Asiah adalah seorang wanita yang tangkas dan bijak sekali dalam berbicara di majelis. Dalam tiap-tiap konsultasi dengan uleebalangnya dia sendiri yang memimpin pertemuan tanpa dibantu oleh orang lain.

Ketika Belanda dapat menguasai daerah uleebalang Keureuto, maka daerah yang begitu luas dan telah terpencil dan terisolasi dijadikan suatu landeskap di bawah Ondrafdeling Lhok Sukon.

Cut Nyak Asiah dengan suaminya Teuku Muda Ali mempunyai dua orang anak tetapi keduanya telah meninggal sejak kecil. Menurut adat yang turun-temurun seseorang uleebalang yang telah meninggal harus digantikan oleh keturunannya. Sebab itu diambillah dua orang putra dari saudaranya T. Ben Berghang yang bernama T. Syamsarif sebagai Teuku Chik di Keureuto padahal Teuku T. Syamsarif tidak disenangi oleh rakyatnya karena lemah dalam menghadapi Belanda. Teuku Cut Muhammad tidak dapat menerima kerja sama antara daerah keuleebalangan Keureuto dengan Belanda. Dia memimpin rakyat untuk menentang kekuasaan Belanda dengan berjuang di gunung-gunung bersama rakyat.

Sehubungan dengan usaha Belanda memblokade pantai utara Aceh, beberapa pelabuhan di pantai utara Pulau Sumatera seperti Pidie, Keureuto, Samalanga, Kuala Jangka, Lhok Seumawe, Blang Ni dan Idi diawasi dengan ketat oleh Belanda. Blang Ni selaku pelabuhan dari daerah keuleebalangan Simpnag Ulim dijaga ketat dari laut sejak tahun 1873. Raja Simpang Ulim Teuku Muda Nyak Malim menentang Belanda. Belanda berhasil menguasai Simpang Ulim dan di sana didirikan sebuah benteng.

Teuku Muda Nyak Malim terpaksa memimpin rakyatnya berjuang di daerah-daerah pedalaman. Untuk menggagalkan perlawanan rakyat di Simpang Ulim, Belanda mengangkat uleebalang baru untuk menggantikan Teuku Muda Nyak Malim yang tidak mau berdamai dengan Belanda. Teuku Muda Nyak Angkasah dijadikan uleebalang Simpang Ulim yang baru. Rakyat Simpang Ulim tidak dapat menerima Teuku Muda Angkasah sebagai Uleebalang yang menggantikan Teuku Muda Nyak Malim hingga ia dibunuh rakyat.

Setelah Belanda menguasai Simpang Ulim, lalu Belanda berusaha menguasai daerah keuleebalangan Keureuto yang terletak sebagai tetangga dari daerah keuleebalangan Simpang Ulim. Akibat tekanan-tekanan dari Belanda, uleebalang Keureuto Teuku Chik Muling mengakui kedaulatan Belanda di daerahnya pada tanggal 24 April 1874. Adiknya Teuku Muda Ali tidak dapat menerima kerjasama antara uleebalang Keureuto dengan Belanda. Ia memimpin perjuangan rakyat untuk menentang kekuasaan Belanda yang berusaha untuk dapat menguasai Simpang Ulim sepenuhnya.

Uleebalang Keureuto yang mengetahui maksud Belanda, kemudian meminta kepada Belanda untuk dapat membantu Keureuto dengan alat persenjataan, katanya cukup banyak mempunyai penduduk tetapi kekurangan persenjataan. Belanda tidak mau memberikan bantuan persenjataan kepada Keureuto, karena Belanda juga sudah mengatahui maksud sebenarnya dari uleebalang Keureuto, maka penyerangan ke Simpang Ulim tidak dilaksanakan. Di sini kelihatan bahwa kelicikan Belanda telah dapat ditandingi oleh uleebalang Keureuto. Mungkin ini pulalah sebabnya seorang penulis Belanda dalam bukunya Aceh Oorlog mengatakan, “Rakyat Peusangan terkenal terkenal karena tipu muslihatnya dan mereka mempunyai 12 macam tipu daya” (38:78). Dengan demikian politik adu domba Belanda yang selama ini begitu ampuhnya dalam melumpuhkan semangat perjuangan Bangsa Indonesia telah gagal diterapkan di Keureuto. Belanda benar-benar merasa tertipu di Keureuto.

Setelah uleebalang Teuku Muda Ali meninggal ia digantikan oleh istrinya Cut Nyak Asiah. Setelah Cut Nyak Asiah meninggal, yaitu setelah van Heutsz melakukan serangan besar-besaran ke seluruh daerah uleebalang di segenap penjuru Aceh, diangkatlah Teuku Syamsarif sebagai Uleebalang Keureuto. Rakyat yang tidak setuju dengan pengangkatan ini dan yang megitu membenci Belanda melakukan perlawanan di bawah pimpinan Teuku Cut Muhammad yang sangat gigih melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda.

Pirak merupakan salah satu daerah uleebalang yang sekalipun setingkat lebih rendah dari Keureuto, di dalam hal pemerintahan dan kehakiman berdiri sendiri serta tidak tunduk di bawah kekuasaan Keureuto. Daerah ini mempunyai lembaga kehakiman sendiri yang dapat memutuskan perkara-perkara dalam tingkat rendah. Kedudukan daerah ini disebut dengan istilah ben, seperti Ben Pirak, Ben Seuleumak, dan lain-lain.

Sebelum perang Belanda di Aceh pecah, daerah Ben Pirak tidak begitu terkenal dibandingkan daerah Keureuto. Setiap uleebalangnya diberikan gelar Teuku Ben. Daerah-daerah keuleebalangan yang lebih besar (pada waktu pemerintahan Belanda disebut Zelfbestuur) yang mempunyai darah uleebalangcut di bawahnya, uleebalangnya diberi gelar Teuku Chik. Sebelum diduduki Belanda Pirak diperintah oleh seorang uleebalang yang bernama Teuku Ben Daud. Pada masa yang sama pula di Keureuto ada Cut Nyak Asiah, yang mewarisi tahta keuleebalangannya itu dari suaminya.

Pirak pada masa kepemimpinan Teuku Ben Daud berada dalam keadaan yang penuh ketenangan dan kedamaian. Ini disebabkan uleebalang yang memerintah negeri itu adalah seorang uleebalang yang bijaksana selalu memperhatikan keadaan rakyanya. Dia bukan saja uleebalang yang penuh kebijaksanaan dalam menjalankan pemerintahan, tetapi dia juga seorang ulama. Dalam kedudukannya sebagai seorang uleebalang dan ditambah dengan keahliannya dalam lapangan agama, Teuku Ben Daud disenangi rakyatnya dan dihormati oleh pihak kawan dan lawannya.

Teuku Ben Daud memperistrikan seorang gadis rupawan bernama Cut Jah, yaitu anak uleebalang Ben Seuleumak. Orang-orang di kampung Pirak menamakannya Cut Mulieng, karena ia berada dalam Kampung Muling daerah Seuleh. Dari perkawinan inilah Teuku Ben Daud memperoleh keturunan lima orang anak yang terdiri atas empat laki-laki dan satu anak perempuan. Anaknya yang tertua bernama Cut Beurahim lalu disusul oleh Teuku Cut Hasan yang juga bergelar Teuku Muhammad Ali.

Satu-satunya puteri dari Teuku Ben Daud yang lahir tahun 1870, diberi nama Meutia. Meutia berarti mutiara. Meutia selain parasnya cantik tubuhnya juga indah. Dalam pakaian upacara yang indah dengan menggunakan silluweue (celana) Aceh yang terbuat dari sutera berwarna hitam, dengan baju berkancing perhiasan-perhiasan emas dengna rambutnya yang hitam pekat serta dihiasi ulee ceumara (kepala cemara) yang terbuat dari emas, dengan gelang kaki yang melingkar pergelangan.

Sebagaimana lazimnya bagi anak perempuan di Aceh sebelum menanjak remaja. Cut Nyak Meutia dididik dengan pelajaran-pelajaran agama di tempat-tempat pengajian. Walaupun telah dewasa dan tinggal bersama keluarganya, pendidikan tidak ditinggalkan. Kepadanya tetap diberikan pelajaran agama dengan mendatangkan ulama ke rumahnya dan bahkan ayahnya sendiri yang ahli masalah agama juga bertindak sebagai guru.

Cut Nyak Meutia adalah seorang anak yang patuh serta penurut. Karena pendidikan yang diterimanya dari kecil sampai dewasa ia merasakan dengan sungguh-sungguh kebesaran agama Islam yang dianutnya. Untuk kepentingan agama manusia di dunia haruslah mengorbankan segala-galanya. Harta benda, sampai-sampai kepada nyawa sekalipun tidak ada artinya bagi kehidupan kalau di luar ridha Allah SWT. Demikianlah keyakinan yang tertanam di dalam dada Cut Nyak Meutia, bahkan keyakinan tersebut tertanam hampir di setiap dada rakyat Aceh pada saat itu.

Pada masa Cut Nyak Meutia bernajak dewasa, keadaan politik di Aceh sedang berada pada saat-saat kritis. Pusat Pemerintahan Kesultanan Aceh telah direbut oleh Belanda dan daerah-daerah di sekitar Aceh Besar telah dikuasai musuh. Keadaan ini memberi pengaruh yang besar bagi kehidupan daerah-daerah yang masih belum dikuasai Belanda, termasuk daerah Pirak.

Saat itu pendidikan semakin dipergiat untuk membendung perluasan kekuasaan Belanda dengan cara menanamkan idiologi tentang pemahaman keislaman. Peran dayah menjadi sangat penting saat itu, termasuk di Pirak. Salah satu dayah yang terkenal di daerah ini adalah Dayah Tgk. Beuringen, yang khusus menyelenggarakan pendidikan agama untuk kaum laki-laki.

Keadaan politik yang demikian menjadi pembicaraan luas dalam seluruh lapisan masyarakat tidak saja dikalangan kaum laki-laki termasuk kaum perempuan. Keadaan ini sangat mengesankan Cut Nyak Meutia, terutama karena keluarganya termasuk keluarga uleebalang yang taat kepada agama serta telah menyatakan akan memusuhi Belanda serta akan menentang apabila musuh sampai ke daerahnya. Dalam suasana demikianlah Cut Nyak Meutia dibesarkan dan kesemuanya ini turut mempengaruhi sikap Cut Nyak Meutia setelah dewasa.

Bersama dengan kepemimpinan Cut Nyak Aiah di Keureuto daerah Pirak berada di bawah pemerintahan Teuku Ben Daud. Sewaktu Pemerintahan Belanda sampai ke Aceh Utara, Teuku Ben Daud giat membantu Sultan Muhammad Daud dan Panglima Polem, baik dalam bentuk fisik maupun material. Dia mengkoordinasi rakyatnya untuk mengumpulkan perbekalan yang diperlukan oleh pasukan sultan serta membentuk lasykar rakyat guna membantu sultan secara fisik. Bantuan yang diberikan Teuku Ben Daud di perbesar lagi sewaktu pusat pertahanan sultan berada di daerah Pasai sejak tahun 1901 sampai pertengahan tahun 1903, saat mana sultan, Panglima Polem dan pengikut-pengikutnya turun bergerilya.

Teuku Ben Daud tetap aktif bersama-sama rakyat dan secara terus-menerus menentang penajajahan Belanda sejak Belanda menguasai daerah Pasai, Keureuto dan daerah-daerah lan di sekitarnya. Semenjak daerah demi daerah di Aceh Utara dikuasai oleh Belanda, para ulama, di daerah uleebalang menyusun perlawanan secara bersama guna menghadapi Belanda. Pucuk pimpinan Kesultanan Aceh tetap berada pada Sultan Muhammad Daud dengan pusat pemerintahan berpindah tempat dari satu pedalaman ke daerah lain yang lebih aman.

Perjuangan yang disusun oleh para uleebalang ini menyukarkan bagi Belanda dalam usaha pasifikasinya di Aceh. Tindakan keras yang dilakukan van Heutsz selaku Gubernur Sipil dan Militer untuk Aceh, diimbangi dengan perlawanan yang keras oleh rakyat Aceh Utara di bawah keuleebalangannya masing-masing.

Para uleebalang yang telah diangkat oleh sultan dan diberikan cap sikeureng tidak dianggap sah oleh Belanda. Oleh sebab itu, tidak jarang pemerintah Belanda melakukan politik pecah belah dengan cara melakukan pemecahan daerah-daerah yang besar menjadi beberapa daerah yang masing-masing diperintah oleh seorang uleebalang.

Demikianlah keadaan ini berjalan cukup lama dan dalam masa yang begitu panjang terdapat pulalah perubahan-perubahan politik, yaitu adanya uleebalang yang mau bekerja sama dengan menandatangani Korte Verklaring, dan uleebalang yang tetap meentang penjajahan Belanda sampai beberapa keturunan lamanya.

Daerah yang termasuk katagori pertama termasuk Keureuto di bawah Cut Nyak Asiah yang diteruskan oleh Teuku Syamsarif dengan gelar Teuku Chik Bentara yang resmi diangkat sebagai uleebalang Chik Keureuto oleh van Heutsz dalam tahun 1899. Adapun yang tergolong ke dalam kelompok yang kedua antara lain ialah keulebalangan Pirak, di mana para uleebalangnya mulai dari Teuku Ben Daud dan anaknya termasuk yang perempuan, yaitu Cut Nyak Meutia, tetap menentang penjajahan Belanda sampai akhir hayat masing-masing.

Satu-satunya keturunan dari uleebalang Keureuto yang mempunyai pendirian serta tekad yang sama dengan uleebalang Pirak adalah saudara Teuku Chik Bentara, yaitu Teuku Cut Muhammad.

Teuku Ben Daud yang dibantu oleh anak-anaknya beserta pengikut-pengikutnya tetap menolak menandatangani Korte Verklaring. Setelah daerah mereka dirampas oleh musuh, mereka memindahkan pusat pemerintahan, yang sekaligus menjadi pusat pertahanan, ke hulu Krueng Jambo Aye. Daerah ini sejak 1905 kemudian dijadikan pula pusat pasukan Cut Nyak Meutia dan Pang Nanggroe.

Mereka tetap bergerilya, sekalipun Sultan Muhammad Daud dan Panglima polem telah turun dalam tahun 1903. Tekad untuk membebaskan kembali tanah endatu dari kaphee penjajah, atau mati syahid, semakin membara di dada mereka. Tekad ini tidak dapat digoyahkan oleh siapa pun dan dalam bentuk bagaimana pun.

Selain bergerilya dan memindahkan pertahanan seperti pusat pemerintahan, masih ada lagi taktik dan strategi lain yang mereka atur untuk menghadapi musuh. Beberapa orang di antara anak Teuku Ben Daud yang laki-laki, di antaranya Teuku Muhammad Syah dan Teuku Muhammad Ali, tidak selalu bersama-sama dengan ayahnya yang berada di gunung-gunung. Mereka tetap di kampung sebagai uleebalang Pirak yang diakui oleh rakyatnya kendati Belanda tidak mengakuinya. Dengan bermodalkan kepercayaan rakyat, mereka mengumpulkan perbekalan yang dibutuhkan pihak ayahnya. Teuku Ben Daud menyadari apabila semua rakyatnya bergerilya dengan mudah Belanda bisa mengucilkan mereka dari rakyat. Selain itu akan sulit memperoleh bantuan secara rutin untuk melanjutkan perjuangan.

Dengan taktik yang demikian Teuku Ben Daud dan pengikut-pengikutnya bertahan puluhan tahun lamanya, serta menghadapi serangan demi serangan yang dilancarkan oleh Belanda. Kemampuan bertahan tidak ditentukan oleh lengkapnya persenjataan, tapi dukungan rakyat dan ulama sangat menentukan dalam rangka membangkitkan semangat perjuangan dalam menentang penajajahan kaphee Belanda.

Menjelang meningkat dewasa Cut Nyak Meutia semakin menjadi gadis yang tumbuh mempesona, dia cantik dengan tinggi tubuh yang ideal dan semampai dan pembawaannya juga lemah-lembut. Tetapi dalam keelokan paras rupanya dan kelembutan sikapnya dia mempunyai suatu pendirian yang sulit tergoyahkan. Sikap tersebut merupakan warisan dari sifat ayahnya yang tegas dan mempunyai pendirian yang teguh.

Kecantikan serta kehalusan budi pekerti inilah yang membuat setiap jejaka berhasrat untuk mempersunting Cut Nyak Meutia untuk menjadi istri. Sehingga banyak berdatangan orang-orang kepada Teuku Ben Daud sebagai utusan atau telangkai (dalam bahasa Aceh disebut seulangkee). Mereka adalah orang-orang yang telah menerima amanah dari Teukunya masing-masing untuk menghadap Teuku Ben Daud guna meminang gadis jelitanya. Teuku Ben Daud haruslah mempertimbangkan matang-matang setiap keputusan yang akan dijatuhkan terhadap pinangan tersebut, meski dia tahu Cut Nyak Meutia tidak akan membantah setiap pilihan yang telah dijatuhkan oleh ayahnya, hal ini karena sikap hormatnya pada orang tua. Tetapi Teuku Ben Daud tidak mau bersikap otoriter dalam menentukan pilihan untuk anak-anaknya, oleh sebab itu semua dilakukan dengan cara musyawarah dengan anggota keluarga.

Dalam menghadapi keadaan tersebut, Cut Nyak Meutia belum menemukan pemuda yang dapat menawan hatinya. Salah seorang pemuda yang semasa kecil telah mengisi memori hidupnya adalah pemuda Teuku Cut Muhammad, yang merupakan teman sepermainan sewaktu kecil. Sayangnya pemuda tersebut tidak pernah meminangnya.

Dari sekian banyak pinangan yang datang, banyak pula yang ditolak Teuku Ben Daud karena tidak ada yang berkenan di hati Cut Nyak Meutia. Sampai akhirnya pinangan dari Cut Nyak Asiah uleebalang Keureuto bagi Teuku Syamsarif, anaknya yang ke dua dan kakak Teuku Cut Muhammad diterima Cut Nyak Meutia.

Setelah dicapai kata sepakat tentang perkawinan dan upacara-upacara kebesaran lainnya, upacara perkawinan dilaksanakan pada tahun 1890. Upacara perkawinan berlangsung dengan meriah, rakyat di Keureuto maupun rakyat di Pirak menyambut baik perkawinan tersebut. Setelah upacara perkawinan tersebut selesai Cut Nyak Meutia menetap di Keureuto bersama suaminya dan meninggalkan Pirak dengan dengan aturan-aturan kehidupan dan keagamaan yang serba ketat dan membenci kaphee Belanda.

Di keureuto ia memulai hidup baru yang penuh toleran terhadap Belanda setelah Cut Nyak Asiah menandatangani Korte Verklaring. Tetapi Cut Nyak Meutia tetap sebagai pribadi yang taat beragama dan tidak mudah tergoyahkan dalam memusuhi Belanda sebagaimana ayah dan saudara-saudaranya. Tetapi walaupun begitu di Keuroeuto pada awalnya kehidupan Cut Nyak Meutia dengan Teuku Syamsarif penuh kedamaian tanpa perbedaan pendapat, tetapi tanpa kehadiran anak telah menjadi pengganjal hubungan harmonis tersebut.

Perbedaan juga semakin kentara akibat sifat yang berbeda antara Teuku Symasarif yang senang pada kedudukan yang tinggi dan terbiasa hidup dengan Belanda, sedangkan Cut Nyak Meutia mempunyai sifat yang sebaliknya. Jadi jelas ada perbedaan yang prinsipil antara keduanya. Yang seorang sangat memusuhi Belanda yang seorang lagi senang hidup bersama Belanda, apalagi setelah mendapat kedudukan uleebalang Keureuto.

Akibat perbedaan-perbedaan yang prinsipil ini akhirnya Cut Nyak Meutia mulai menunjukkan perasaan-perasaan tidak senangnya kepada Teuku Syamsarif. Cut Nyak Meutia mulai berusaha membujuk suaminya agar bersedia meninggalkan kerjasama dengan Belanda dan membantu kaum muslimin yang sedang berjuang mengusir Belanda yang terus-menerus menjajah naggroe endatu.

Tetapi usaha-usaha Cut Nyak Meutia untuk mengubah pendirian suaminya untuk memihak kepada kaum muslimin ternyata sia-sia belaka. Hal ini membawa pertentangan batin yang mendalam buat Cut Nyak Meutia. Pertentangan antara pendiriannya yang teguh, dengan kenyataan yang ia hadapi sendiri sebagai istri Teuku Syamsarif yang telah mengakui kekuasaan Belanda serta membantunya. Kenyataan ini tidak bisa dielakkan selama ia masih menjadi istri Teuku Syamsarif.

Pengangkatan Teuku Syamsarif sebagai uleebalang Keureuto oleh van Heutsz dalam tahun 1899 untuk menggantikan Cut Nyak Asiah merupakan bukti keakrabannya dengan Belanda. Pengangkatan suaminya sebagai uleebalang oleh Belanda sangat melukai hatinya, sekalipun sesuai dengan kedudukan suaminya. Ia harus dipanggil dengan sebutan Cut Nyak Meutia, sejalan dengan sebutan baru yang diberikan kepada suaminya yaitu Teuku Chik Syamsarif dengan gelar Teuku Chik Bentara atau Teuku Chik di Baroh.

Kedudukan sebagai Cut Nyak Meutia tidaklah membawa kebahagiaan dan kesenangan bagi Cut Nyak Meutia. Makin besar pertentangan dan tekanan batin yang dideritanya. Rakyat Keurouto pun tidak menyukai kedudukan Teuku Symasarif sebagai uleebalang Keureuto, karena sebelumnya Sultan Daud telah mengaangkat Teuku Cut Muhammad sebagai Teuku Chik Muhammad sebagai Teuku Chik atau uleebalang Keureuto. Teuku Cut Muhammad sangat disenangi oleh rakyat, karena ia adalah seorang yang cakap dan pemimpin perjuangan muslimin.

Sebagai puteri Teuku Ben Daud, Cut Nyak Meutia selalu tertarik kepada pasukan muslimin yang sedang berjuang untuk melepaskan tanah airnya dari penjajahan kafir. Hatinya terus memberontak kepada suaminya. Ia selalu terkenang kepada ayah, saudara-saudaranya, dan lain-lain pasukan muslimin yang tidak mengenal menyerah serta berjuang sampai titik darah penghabisan.

Teuku Chik Bentara sendiri telah lama memperhatikan tanda-tanda perubahan sikap dan tingkah laku istrinya. Ia tidak mengetahui sebab-sebab perubahan pada istrinya. Akhirnya ia menanyakan sendiri kepada Cut Nyak Meutia. Pada suatu malam setelah selesai melaksanakan sembahyang magrib, keduanya duduk berhadapan sebagaimana berlangsung selama ini. Teuku Chik Bentara bertanya kepada istrinya, apakah yang menyebabkan Cut Nyak Meutia selama ini kelihatan selalu murung dan bersedih hati. Cut Nyak Meutia mengangkat kepalanya sembari memperbaiki duduknya. Di dalam hati ia berpikir inilah kesempatan yang baik baginya. Ia menjawab dengan tenang dan penuh takzim kepada suaminya. “Adinda kira kakanda telah tahu sebab musababnya”. Teuku Chik Bentara melanjutkan percakapan dengan mengatakan, bahwa perempuan merasa beruntung kalau suaminya mendapat derajat dan kedudukan yang tinggi. Cut Nyak Meutia segera menampiknya. Dia mengatakan suaminya tidak tinggi dengan sewajarnya, melainkan ditinggikan oleh musuh.

Setelah dialog antara Cut Nyak Meutia dengan Teuku Chik Bentara berlangsung beberapa jam, Cut Nyak Meutia meminta kepada suaminya agar ia dikembalikan ke rumah ayahnya di Pirak. Ia tidak dapat bertahan lagi di Keureuto, karena suaminya telah jadi alat dan kaki tangan kaphee, yang oleh Cut Nyak Meutia dianggap bertentangan dengan prinsip hidupnya. Teuku Chik Bentara lebih tercengang lagi setelah mendengar tuntutan Cut Nyak Meutia. Ia tidak pernah menduga bahwa tindakan yang dilakukannya selama ini akan menyebabkan terjadinya perceraian. Teuku Chik Bentara berusaha membujuk Cut Nyak Meutia agar bersedia mengubah pendiriannya, tetapi bagi Cut Nyak Meutia keputusannya tidak dapat diganggu gugat. Dialog ini diakhiri dengan sembahyang isya bersama-sama, serta diimami oleh Teuku Chik Bentara, seolah-olah antara mereka tidak pernah terjadi sesuatu.

Beberapa hari kemudian Cut Nyak Meutia meninggalkan Keureuto kembali kepada ayahnya di Pirak. Setelah beberapa hari kemudian Teuku Chik Bentara meminta agar ia dipulangkan karena mereka belum bercerai. Teuku Ben Daud menjawab biasanya yang dikirim dari satu tempat ke tempat lain adalah barang. Cut Nyak Meutia adalah manusia bukan barang. Kalau Teuku Chik Bentara masih menyukainya hendaklah menjemput sendiri. Inilah yang ditakuti oleh Teuku Chik Bentara, karena antara mereka sudah berbeda pendirian. Teuku Ben Daud akhirnya memutuskan agar Cut Nyak Meutia dan Teuku Chik Bentara diceraikan. Atas dasar tidak pernah dijemput dan tidak pernah diberi nafkah selama berada di Pirak, Teuku Chik Bentara dinyatakan dipisah dari istrinya, Cut Nyak Meutia.

Dengan demikian berakhirlah ikatan perkawinan mereka dan Cut Nyak Meutia kembali menetap bersama keluarganya di Pirak. Cut Nyak Meutia terlepas dari pertentangan dan tekanan batin yang cukup berat selama ini dan kini telah hidup dengan bebas sebagimana layaknya seorang yang merdeka tanpa ikatan dan penjajahan sedikit pun. Sejak menjanda, di dalam hatinya telah tertanam hasrat untuk bergerilya bersama-sama muslimin lainnya. Tapi keinginan itu tidak diperkenankan oleh ayahnya. Walaupun demikian ia selalu tertarik kepada masalah-masalah peperangan melawan kaphee Belanda yang masih menyerang tanah endatu.

Di dalam pasukan Teuku Ben Daud terdapat seorang pemuda bangsawan yang selalu setia dalam setiap pertempuran, yaitu Teuku Cut Muhammad, saudara dari Teuku Syamsarif, bergelar Teuku Chik Tunong. Mereka sama-sama memerintah daerah Keureutoe yang telah terbagi menjadi dua bagian, yaitu Tunong dan Baroh. Dengan pemuda Teuku Cut Muhammad inilah Cut Nyak Meutia kawin untuk kedua kalinya, setelah menjanda beberapa lama. Teuku Cut Muhammad adalah seorang yang tidak gila kepada pangkat dan kedudukan, bebas dari pengaruh asing. Ia sama sekali tidak suka tunduk di bawah kekuasaan orang asing. Yang dianggapnya sebagai musuh bangsa dan agama. Sikap ini berbeda dengan saudaranya, Teuku Symasarif (Teuku Chik Di Baroh), yang semena-menda terus menandatangani Korte Verklaring yang diajukan oleh kaphee Belanda.

Teuku Cut Muhammad turut melakukan perlawanan untuk mempertahankan tanah endatunya dari serangan kaphee Belanda bersama-sama dengan Sultan dan Panglima Polem menjadikan daerah Pasee atau Aceh Utara sebagai pusat pertahanan. Karena jasa-jasanya yang besar kepada Sultan selama Sultan berada di daerah Pasee, akhirnya Teuku Chik Muhammad memperoleh pengangkatan sebagai uleebalang Keureuto dari Sultan dengan sebuah surat pengangkatan yang menggunakan cap sikeureung (cap sembilan), oleh sebab itu daerah Keureuto terdapat dua orang uleebalang, yaitu seorang yang diangkat oleh Belanda yang dinamakan uleebalang Baroh (hulubalang bawah), yang diperintah Teuku Symasarif dengan memakai gelar Teuku Chik di Baroh atau Teuku Chik Bentara.

Setelah kawin dengna Teuku Chik Muhammad, Cut Nyak Meutia kembali menemui hidup yang penuh dengan kebebasan. Ia kembali dapat mengabdikan dirinya sebagai seorang puteri bangsanya yang selalu tertarik kepada pihak muslimin, nun jauh di gunung-gunung, pria-pria dan wanita-wanita yang berjuang di jalan Allah, di mana ayah dan saudaranya berada.

Zentgraaf dalam bukunya mengatakan, “Sungguh sebuah cerita khusus atau sebuah kisah mengenai kegiatan-kegiatan di dalam perang yang telah dilakukan oleh Teuku Chik Tunong secara nekat dan gagah berani dengan didampingi istrinya yang seperti mutiara itu. Tanpa disangka-sangka cepat sperti kilatan, ia dapat memukul mush seperti di sini, sebentar di sana untuk kemudian menghilang jauh-jauh. Ia sangat bijaksana untuk tidak selalu melakukan perlawanan terhadap pasukan-pasukan Belanda” (46 : 117).

Cut Nyak Meutia bukan hanya bertindak sebagai pendamping buat Teuku Chik Tunong, tapi ia juga berperan aktif sebagai pengatur strategi. Cut Nyak Meutia bersama Teuku Chik Tunong mempergunakan taktik menyebar spion-spion untuk menyiasati rencana-rencana yang akan dikerjakan oleh pihak musuh, taktik ini berhasil dengan baik. Dengan mempergunakan taktik ini memperoleh beberapa kemenangan gemilang. Dalam bulan Juli 1902 Teuku Chik Tunong mengetahui melalui spionnya, bahwa Belanda akan melakukan patroli/operasi. Operasi ini dipimpin oleh serdadu Belanda di bawah pimpinan sersan van Steijn Parve dengan pasukan berjumlah 30 orang sedadu. Akibat dari perlawanan tersebut, pihak Belanda telah tewas ban Stijn Parve dan delapan serdadunya, sedangkan pasukan Teuku Chi Tunong syahid 14 orang.

Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh semakin menambah semangat pasukan Teuku Chik Tunong dengan pasukan musliminnya. Penyerangan selanjutnya dilakukan dalam bulan Agustus 1902 terhadap pasukan Belanda yang sedang melakukan patroli dari Simpang menuju ke Blang Ni. Teuku Chik Tunong menempatkan pasukannya di dalam alang-alang yang tinggi dekat dengan jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro. Dalam penyerangan ini pasukan muslimin dapat menewaskan tujuh orang serdadu kaphee dan merampas lima pucuk senjata. Mendapat kekalahan tersebut pasukan Belanda menambah bantuan 40 orang serdadu di bawah pimpinan Letnan ban Gheel Gilddemeker, tapi pasukan kaum muslimin sudah duluan menginggalkan arena pertempuran.

Dalam bulan September 1903 Swart selaku komandan datasemen yang berkedudukan di Lhokseumawe meminta kepada Cut Nyak Asiah dan Teuku Syamsarif agar menurunkan Teuku Chik Tunong. Apabila tidak dapat menurunkan Teuku Chik Tunong maka Cut Nyak Asiah akan dijatuhi hukuman pembuangan (pengasingan) ke Subang. Setelah menerima ancaman tersebut Cut Nyak Asiah berusaha menyampaikan pesan-pesan tersebut melalu orang-orang kepercayaan Teuku Chik Tunong. Setelah menerima pesan tersebut Teuku Chik Tunong pun beberapa hari kemudian turun gunung.

Pertimbangan Teuku Chik Tunong bukanlah karena ancaman Swart kepada ibunya, tetapi ia melihat bahwa pertengahan 1903 Sultan Muhammad Daud Syah bersama-sama dengan pengikutnya seperti Panglima Polem, Muhammad Daud, Tuanku Raja Kumala, dan lain-lain telah turun gunung menghentikan gerilya. Pada 5 Oktober 1903 Teuku Chik Tunong bersama-sama pengikutnya melaporkan diri kepada Swart di Lhokseumawe. Ia diterima dengan baik dan dibenarkan menetap di kenegerian Keureuto.

Turunnya Teuku Chik Tunong pada 5 Oktober 1903 ditandai dengan dilangsungkannya pertemuan bersama antar Komandan Datasemen Belanda di Lhokseumawe HNA Swart dengan Cut Nyak Asiah dan Teuku Chik Tunong. Belanda mengira itu adalah awal penyerahan pejuang-pejuang Aceh yang masih berada di hutan-hutan, sehingga mereka merasa sangat bergembira, dan kegembiraan tersebut menjalar ke berbagai pos dan bivak Belanda sampai ke Kutaraja, karena pada awal tahun 1905 Belanda memperkecil kekuatannya dengan menarik satu batalion tentara ke Pulau Jawa. Tapi walaupun demikian mereka tetap terus memantau gerak-gerik Teuku Chik Tunong, meresa tetap diawasi Teuku Chik Tunong sangat berhati-hati dalam segal tindakannya sehari-hari, padahal Teuku Chik Tunong tetap menjalin hubungan dengan pejuang muslimin secara rahasia.

Dalam keadaan yang aman Belanda tetap mengadakan patroli untuk mengejar sisa-sisa pejuang Aceh yang masih tinggal. Dari sekian banyak patroli yang mereka lakukan pada waktu aman ini, satu patroli benar-benar membawa petaka yang menggemparkan Belanda dari Lhokseumawe dan Kutaraja sampai ke Batavia. Malapetaka besar yang diderita Belanda tersebut terjadi pada 26 Januari 1905 di Meurandeh Paya.

Kisah penyerbuan kaum muslimin di Merandeh Paya memang sangat fonomenal, 16 dari 17 anggota pasukan Belanda di bawah pimpinan Sersan Vollaers berhasil di tewaskan oleh para pejuang kaum muslimin yang dipimpin Peutua Dullah dan Keujruen Buah (eleebalangcut Buah) dengan cara mempergunakan tak tik yang benar-benar tidak diperhitungkan oleh pasukan Belanda.

Bantuan yang dikirimkan dari Lhok Sukon ke Meurandeh Paya tiba, komandan datsemen di Lhokseumawe telah mengetahui peristiwa tersebut melalui kaki tangannya. Swart datang sendiri ke tempat terjadinya penyerangan tersebut. Ia menyaksikan sendiri kondisi 16 mayat yang tubuhnya terkoyak-koyak, dan darah berlumuran hampir membeku. Mayat sersan komandan ditemui tergeletak di atas meunasah dengan buku di sampingnya dalam keadaan berlumuran darah. Kemudian Swart memerintahkan pasukan yang telah tewas itu untuk dikebumikan dalam kuburan massal.

Guna menebus kekalahan ini Swart telah memerintah pasukannya untuk mencari pelaku-pelaku utama peristiwa tersebut, saat itu pasukannya diperkuat oleh pasukan-pasukan pilihan yang terdapat di Lhokseumawe. Pengejaran terus-menerus dilakukan oleh pihak Belanda, dan berhasil menemukan Peutua Dullah dan dalam pertempuran yang cukup sengit akhirnya syahid akibat tembakan pihak Belanda di bawah pimpinan Roempol.

Usaha lain yang dilakukan untuk mengetahui pelaku utama penyerangan di Meurandeh Paya, Swart memberikan kepercayaan kepada Letnan van Vuuren yang mahir berbahasa Aceh. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan akhirnya ditemukan bukti yang melakukan penyerbuan adalah uleebalang Cut Buah (Keujruen Buah) bersama-sama dengan Peutua Dullah. Van Vuuren juga berhasil mengungkap tabir rahasia bahwa penyerbuan tersebut sesungguhnya dimatangkan oleh Teuku Chik Tunong.

Entah itu tuduhan rekayasa atau bukan untuk melibatkan Teuku Chik Tunong, akhirnya pada 5 Maret 1905 saat datang ke Lhokseumawe dalam sebuah urusan Teuku Chik Tunong ditangkap oleh Belanda dan kemudian dijebloskan dalam tahanan. Setelah dilakukan suatu pemeriksaan oleh van Vuuren akhirnya memutuskan bahwa Teuku Chik Tunong dapat dibuktikan bersalah, akhirnya ia dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan. Vonis hukuman gantung ini akhirnya dibatalkan oleh Gubernur Militer Aceh van Daalen di Kutaraja dan diganti dengan hukuman tembak.

Sebelum menjalani prosesi hukuman mati Teuku Chik Tunong terlebih dahulu dipertemukan dengan istrinya tercinta Cut Nyak Meutia yang sedang hamil tua (anak kedua) dan si buah hatinya Teuku Raja Sabi yang masih berumur lima tahun. Sewaktu perjumpaan yang penghabisan dengan Cut Nyak Meutia, Teuku Chik Tunong meminta istrinya untuk mendidik putranya, Teuku Raja Sabi, dengan dendam terhadap kaphee, dan setelah ia dijatuhi hukuman Cut Nyak Meutia harus kawin dengan Pang Nanggroe. Cut Nyak Meutia bersumpah saat itu akan melaksanakan wasiat tersebut.

Dengan penuh ketenangan dan keyakinan pada pagi-pagi 25 Maret 1905 Teuku Chik Tunong dibawa ke tepi pantai Lhokseumawe. Di sana telah ditempatkan satu seksi tentara yang akan melaksanakan keputusan hukumannya, dan kedua kusuma bangsa itu juga melarang mata mereka ditutupi, mereka sudah tidak sabar menuju suatu tempat yang mereka idam-idamkan, yaitu Surga Jannatunna’im, dengan mahkota syahid. Selamat jalan Teuku Chik Tunong… selamat jalan uleebalang Cut Buah…

Selama dalam masa penantian lahir anaknya yang kedua dengan suaminya Teuku Chik Tunong, Cut Nyak Meutia tidak pernah mengemukakan kepada siapapun ihwal wasiat dari suaminya yang telah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Dia tetap berada dalam keadaan yang penuh ketenangan serta tidak menampakkan sedikit pun rasa dendam yang terpendam di dalam dadanya. Dalam masa itu dia banyak mengadakan hubungan, baik dengan kawan-kawan lamanya seperti Pang Naggroe dan pengikut lainnya yang setia, maupun dengan pihak saudara suaminya yang masih berkuasa yaitu Teuku Chik Bentara dan Cut Nyak Asiah. Dia tidak pernah menuntut apapun dari Teuku Chik Bentara yang merupakan hak suaminya, yang kini sesungguhnya menjadi hak anaknya Teuku Raja Sabi, baik harta maupun kekuasaan. Sikap ini menunjukkan seolah-olah Cut Nyak Meutia telah menyerah pada nasib serta tidak berdaya meneruskan perjuangan. Padahal keadaan yang demikian hanya bersifat semu, karena kenyataannya menjadi terbalik setelah Cut Nyak Meutia melahirkan anaknya yang kedua dan ternyata meninggal pula.

Sepeninggal Teuku Chik Tunong rasa simpati rakyat terus mengalir kepada Cut Nyak Meutia bersama anaknya Teuku Raja Sabi. Sebagian penduduk yang turun bersama Teuku Chik Tunong, kini secara terang-terangan memilihnya dan menentang pihak uleebalang Teuku Chik Bentara yang masih memerintah. Rakyat ada yang beranggapan bahwa Teuku Chik Tunong syahid karena turut didalangi oleh Teuku Chik Bentara agar tidak ada lagi saingan dalam kepemimpinan di Keuretoe, karena rakyat lebih menyukai Teuku Chik Tunong.

Setelah persalinan Cut Nyak Meutia, menurut tradisi di Aceh harus beristirahat selama 44 hari (madeueng), yaitu tidur di atas balai-balai dan menghadap api yang telah disediakan. Setelah menjalani masa persalinan selama 44 hari itu Cut Nyak Meutia kembali dalam keadaan suci jasmani dan rohani untuk mendidik putranya Teuku Raja Sabi untuk tetap bermusuhan dengan Belanda. Tidak diserahkan anaknya kepada pamannya Teuku Chik Bentara, yang menurut adat harus mendidik serta membiayainya.

Sementara itu ia masih belum berani mengemukakan pesan yang kedua dari suaminya kepada Pang Nanggroe, walaupun sebenarnya masa untuk itu telah sampai. Sebagai seorang wanita, apalagi keturunan bangsawan, ia malu meminta seorang laki-laki untuk menjadi suaminya. Hal ini tidak pernah terjadi di dalam masyarakat Aceh dan perbuatan ini merupakan perbuatan yang pantang dilakukan dan sangat tercela di mata masyarakat. Ia merencanakan jalan lain sebagaimana lazimnya dikerjakan orang, yaitu melalui perantara.

Perantara tersebut adalah seorang ulama yang selalu berada di dalam kelompok Teuku Chik Tunong, yaitu Teuku di Mata Ie. Kepadanya, Cut Nyak Meutia menyampaikan segala maksud dan amanah, Teungku di Mata Ie menyatakan akan berusaha untuk menyampaikan hal ini kepada Pang Nanggroe. Meski pada mulanya Pang Naggroe menolak usul itu karena beralasan tidak sepadan, tapi setelah diyakinkan oleh Teungku di Mata Ie, akhirnya Pang Nanggroe setuju dan akhirnya keduanya dinikahkan oleh Teungku di Mata Ie.

Setelah keduanya menjadi suami-istri, bekas-bekas pengikut Teuku Chik Tunong kembali menyatakan akan ikut bersama-sama untuk mengadakan gerilya, karena mereka merasa ditipu oleh Belanda, karena dalam keadaan yang tidak melawan Teuku Chik Tunong tetap ditembak mati. Sehingga mereka bertekad akan tetap berjuang dengan pemimpin mereka yang baru, yakni Cut Nyak Meutia dan Pang Nanggroe. Di samping itu ada Teuku Raja Sabi yang harus diselamatkan dari Belanda.

Tidak lama kemudian mereka meninggalkan Keureotoe di waktu malam hari, agar tidak diketahui Belanda, mereka dijemput Pang Lateh, saat meninggalkan Keureuto Cut Nyak Meutia harus ditandu karena masih lemah habis bersalin. Dengan dikawal oleh pasukan yang bersenjata lengkap Cut Nyak Meutia menuju suatu tempat yang jauh dari jangkauan Belanda, yaitu kubu pertahanan ayahnya sendiri Teuku Ben Daud Pirak, di hulu Krueng Jambo Aye. Di kubu ini Cut Nyak Meutia disambut oleh ayah dan kakaknya serta panglima-panglima lainnya dengan suka cita.

Sedangkan untuk keselamatan Teuku Raja Sabi penjagaannya dipercayakan kepada beberapa orang anggota pasukan yang cukup berpengalaman, yang dijaga dengan cukup baik. Kehadiran Cut Nyak Meutia dan putranya di wilayah pertahanan, telah memperbesar laskar ayahnya dan kakaknya, dan memberi semangat dan daya dorong buat mereka. Mereka juga didukung oleh ulama-ulama besar yang mempunyai pengaruh yang luas seperti Teungku Chik di Paya Bakong dan saudaranya Teungku Paya Bakong yang memakai gelar Teungki Chik di Mata Ie.

Teungku Chik Paya Bakong lebih dikenal dengan sebutan Tengku Supot Mata, karena matanya yang tidak dapat melihat lagi. Dia dianggap oleh masyarakat sebagai seorang yang “keramat”, ia mempunyai keahlian tidak bisa dilihat oleh musuhnya dengan bersenjatakan sebuah bawar. Sedangkan saudaranya Teungku Paya Bakong juga seorang ulama yang cukup terkenal sebelum tahun 1899. Ia disebut juga Teungku di Mata Ie, yang kemasyurannya lebih dari Teungku Supot Mata. Selain itu ada Teuku Mat Saleh yang sehari-hari bertugas mengajarkan mengaji kepada Teuku Raja Sabi, kemudian ada Pang Lateh, Teungku di Barat Pang Johan dan lain-lain.

Setelah tersiar kabar menghilangnya Cut Nyak Meutia dan Teuku Raja Sabi, maka Belanda sangat marah, mereka mengadakan pemeriksaan dan memenjarakan pemimpin masyarakat dan dilakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk. Hal ini diketahui oleh Pang Nanggroe-Cut Nyak Meutia melalui dua utusan yang membawa laporan, yaitu Neh Salem dan Lem Dalem. Setelah mendengar laporan tersebut maka digelarlah suatu musyawarah dengan mengikutkan beberapa tokoh yang berpengaruh. Diputuskan untuk melakukan penyerangan ke tangsi-tangsi Belanda. Ini merupakan awal dari perlawanan Pang Nanggroe-Cut Nyak Meutia selama lima tahun kemudian sampai 1910.

Berkat tak tik dan strategi yang jitu kemenangan demi kemenangan di peroleh oleh pasukan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Pang Naggroe. Gempuran yang dilakukan selalu menimbulkan ketakutan pihak kaphee. Dalam suatu penyerbuan Pang Nanggroe dapat menewaskan dua orang dan empat orang luka-luka dari pihak Belanda, selain itu mereka merebut sepuluh pucuk senapan dengan 750 butir peluru. Peristiwa itu terjadi pada 6 Mei 1909. Peristiwa ini telah menggemparkan pucuk pimpinan Belanda baik yang berada di Lhokseumawe, Lhok Sukon, dan sampai ke Kutaraja.

Dua puluh lima hari berselang, yaitu pada 15 Juni 1909, Pang Nanggroe kembali membuat debut baru yang lebih menggemparkan Belanda. Dengan dua puluh orang pasukannya ia menggempur sebuah bivak marsose di Keude (Idi). Dalam penyerbuan ini pasukan kaum muslimin tidak begitu beruntung karena hanya bisa membinasakan beberapa orang musuh saja dengan satu orang mati, delapan orang luka-luka dan merampas satu pucuk senjata.

Dalam menghadapi kemelut politik di Keureuto dan untuk mengalihkan perhatian rakyat dan memperkecil simpati pada Cut Nyak Meutia, pada tahun 1906 Belanda telah mengambil kebijakan dengan menghentikan Teuku Chik Bentara untuk sementara waktu, tetapi siasat ini tidak membuahkan hasil. Sehingga pada 1907 Teuku Chik Bentara dikembalikan pada posisi semula.

Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh Pang Nanggroe-Cut Nyak Meutia membuat pemerintah baik yang di Kutaraja bahkan sampai ke Batavia semakin gusar. Van Daelen selaku Gubernur Sipil dan Militer Aceh (1905-1908) menggantikan van Heutsz, terkenal sebagai gubernur yang kejam dan berdisiplin dalam menjalankan tugas-tugasnya di Aceh. Tidak mampu mengahdapi pasukan Pang Nanggroe. Pemerintah Batavia menyadari, bahwa situasi yang mereka hadapi berada dalam keadaan bahaya kalau tidak dipulihkan akan menyebabkan kehancuran semua pekerjaan pasifikasi khusunya di daerah Aceh Utara (Keureutoe, Lhok Sukon, Panton Labu, dan sekitarnya). Untuk menghadapi keadaan ini diputuskan untuk membentuk sebuah koloni khusus, yang kemudian dinamakan dengan “koloni macan” yang terdiri dari prajurit-prajurit tua yagn sarat pengalaman di Aceh. Christoffel ditunjuk sebagai komandan pasukan. Tapi pasukan pilihan ini akhirnya juga tidak berdaya menghadapi pasukan Pang Nanggroe.

Karena dianggap gagal dan terjadinya perubahan politik akhirnya Chirstoffel, van Daelen meninggalkan Aceh. Di Kutaraja pada tahun 1908 digantikan Swart. Kebijakan baru ditempuh oleh Swart dengan mendekati rakyat dan menghasut pasukan kaum muslimin, sehingga dengan demikian membuat pasukan kaum muslimin mulai terpojok karena kurangnya distribusi makanan dari masyarakat.

Dalam pertengahan tahun 1909 pihak Belanda dengan bersusah payah mencapai pusat pertahanan pejuang Aceh di hulu Krueng jambo Aye, karena petunjuk orang-orang gampong yang telah dijadikan tawanan. Terjadilah pertempuran yang menyebabkan tewasnya Teuku Ben Pirak (abang Cut Nyak Meutia). Kemudian pengejaran terhadap Pang Nanggroe semakin ditingkatkan.

Tahun-tahun terakhir Pang Nanggroe masih terus melaksanakan penyerbuan-penyerbuan walaupun tidak sehebat masa-masa lampau. Di antaranya dalam bulan Maret 1910 di daerah rawa-rawa Krueng Jambo Aye, kemudian disusul lagi dengan bentrokan selanjutnya yaitu pada 30 Juli 1910 di daerah Buket Hagu dan Paya Surian.

Tepatnya pada sore hari 26 September 1910, Brigade van Sloten yang telah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan berat di dalam rawa-rawa berada kira-kira dua ratus meter dari pasukan Pang Nanggroe. Terjadilah tembak menembak antara kedua pasukan, tiba-tiba Pang Nanggroe yang sedang memimpin pasukannya mengundurkan diri sambil bertahan karena terkena peluru musuh. Pada saat Pang Nanggroe jatuh, di sampingnya terdapat Teuku Raja Sabi yang berusaha membantu. Pang Nanggroe yang mengetahui bahaya mengancam Teuku Raja Sabi. Dalam keadaan luka parah sebelum ajalnya tiba, Pang Nanggroe membisikkan kepada anak tirinya yang sedang membungkukkan kepala, “plueng laju……….jak sutot ma…………..lon karap mate”. Yang artinya, lari dengan cepat meninggalkan tempat ini untuk ikut dengan ibumu, saya sebentar lagi akan meninggal. Akhirnya Teuku Raja Sabi berhasil menyelamatkan diri.

Kematian Pang Nanggroe yang dianggap watergues begitu berarti buat Belanda. Dengan bersusah payah mayat Pang Nanggroe dibawa ke Lhok Sukon untuk dipersaksikan kepada rakyat. Tetapi kematian Pang Nanggroe tidak menyebabkan terhentinya perjuangan Cut Nyak Meutia. Ia kini memimpin sendiri perjuangan selanjutnya.

Walaupun Pang Nanggroe telah syahid, Cut Nyak Mutia tidak bermaksud untuk menyerah kepada Belanda. Ia bertekad untuk melanjutkan perjuangan bersama-sama para pengikutnya yang setia. Karena diketahuinya bahwa di daerah Gayo dan Alas masih saja terjadi perlawanan rakyat menentang Belanda, maka Cut Nyak Mutia berusaha menuju ke sana untuk menggabungkan diri. Tujuan utamanya ialah untuk bertemu dengan Teungku di Mata Ie, salah seorang pemimpin perjuangan di Gayo yang terus-menerus melakukan perlawanan. Dengan ditemanioleh empat puluh orang pengikutnya yang setia Cut Nyak Mutia berangkat menuju ke daerah Gayo.

Sebulan sesudah syahidnya Pang Nanggroe, Komandan Datasemen Marsose Belanda pada 22 Oktober 1910 memerintahkan Sersan Mosselman, seorang pemimpin brigade yang terkenal dan telah cukup berpengalaman dalam perang gerilya, untuk membuntuti pasukan Cut Nyak Mutia yang waktu itu diperkirakan di Lhok Reuhat.

Pada waktu itu kebetulan bulan puasa. Para pejuang yang selama ini berada di gunung-gunung banyak yang turun ke gampong-gampong untuk menjenguk keluarganya, menziarahi kuburan-kuburan para pemimpin perjuangan yang telah syahid dan juga untuk mengurus berbagai kepentingan guna perlawanan terhadap Belanda.

Mata-mata dipasang di setiap penjuru untuk membuntuti setiap pejuang yang turun dari gunung dan memasuki gampong. Patroli yang dipimpin oleh Mosselman bergerak kian kemari untuk mencari pasukan Cut Nyak Mutia. Setelah mendapat berita pasukan yang dibuntuti berada di Lhok Reuhat, Mosselman sekitar pukul empat pagi langsung menuju ke sana dengan kekuatan delapan pucuk karaben. Dari peutua gampong ia memperoleh keterangan bahwa semalam sebuah pasukan pejuang telah melewati kampungnya. Di dalam pasukan yang diperkiran berjumlah seratus orang itu ada juga wanita dan anak-anak.

Mosselman segera melakukan pengejaran terhadap laskar pejuang Aceh tersebut. Dengan mengikuti jejak-jejak kaki pejuang-pejuang Aceh. Mosselman berusaha membuntuti terus pejuang-pejuang itu. Pada suatu tempat jejak-jejak pejuang itu tidak menuju ke satu arah tetapi ke segala penjuru dan berbagai arah yang berlainan. Hal ini membingungkan Mosselman dan serdadunya. Rupanya laskar Aceh menggunakan siasat untuk menyesatkan lawan. Mosselman memilih jejak kaki yang menuju ke timur untuk diikuti hingga sampai ke daerah yang berawa-rawa yang dalam, yang tidak mungkin dilalui oleh manusia. Mosselman terpaksa kembali ke tempat semula. Sementara hari telah malam dan tidak mungkin dilakukan pengejaran yang belum tentu arahnya itu. Terpaksalah mereka mendirikan bivak di tempat tersebut untuk bermalam.

Pada 23 Oktober 1910 pencarian jejak laskar pejuang Aceh diteruskan lagi. Kira-kira pukul 10 ditemukan jejak yang menuju ke selatan. Jejak itu diperkirakan telah dua hari lamanya. Perjalanan Mosselman ke arah selatan kemudian kemudian dibalikkan ke arah timur, tetapi jejak-jejak itu menghilang. Kemudian Mosselman bergerak ke arah tenggara ke sebelah kanan sungai. Di daerah ini tidak satu pun jejak yang mereka dapati. Kembali mereka bergerak ke arah timur melintasi pengkolan Krueng Peutoe. Pengejaran yang dilakukan pada hari itu tidak membuahkan hasil.

Malam harinya Mosselman dan pasukannya bermalam di Alue Brien. Pada malam harinya Mosselman mendengar adanya letusan di tengah malam. Mosselman berpendapat bahwa letusan itu pasti ada hubungannya dengan acara kenduri arwah Pang Nanggroe yang baru syahid itu, karena itu Mosselman berpendapat bahwa pasukan yang sedang dibuntutinya itu pasti berada tidak berapa jauh lagi.

Pengejaran demi pengejaran yang sangat melelahkan yang dilakukan Mosselmen turut dibantu juga oleh seorang pasukan pribumi yang berasal dari Menado yang bernama Wokas, ia merupakan seorang pencari jejak yang lihai, yang akhirnya pasukan Mosselman menemukan jejak pejuang-pejuang Aceh.

Setelah berhari-hari melakukan pengejaran dengan mengikuti jejak kaki pejuang-pejuang Aceh yang kadang-kadang muncul dan kadang-kadang hilang kembali, Mosselman tiba di suatu tempat di lereng-lereng pegunungan dengan jurang-jurangnya yang curam. Mereka akhirnya berhasil juga melintasinya dan kemudian tiba di sebuah alur yang kecil. Tiba-tiba Wokas menemukan jejak pada sehelai daun yang di atasnya terdapat air ludah dari sirih. Ini merupakan suatu keteledoran dari pasukan pejuang Aceh.

Setelah menemukan jejak itu, Mosselman dan pasukannya terus bergerak mengikuti pasukan Aceh, dan kembali menemukan tempat istirahat lainnya dari dua belas helai daun. Deperkirakan bahwa tempat itu dipergunakan pada malam hari kemarin. Mosselman yakin bahwa ia semakin dekat dengan buruannya.

Karena pengejaran terus-menerus itu maka pasukan Mosselman berada dalam keadaan letih sekali. Mereka juga sudah mulai jemu dan sudah banyak pula di antaranya yang sudah luka-luka akibat lumpur dan batu kali.

Pada 25 Oktober 1910 pukul lima pasukan Mosselman bangun dan memasak makanan. Setelah sarapan pagi dengan cepat mereka bergerak kembali hingga tiba di daerah perairan Krueng Peutoe. Di sini salah seorang anak buah Mosselman mengalami kecelakaan. Karena lapar, seorang marsose telah jatuh ketika pasukan melintasi air terjun, tetapi keadaan tidak begitu parah. Berikutnya di sebuah alur kecil mereka jumpai lagi sebuah tempat yang baru ditinggalkan pasukan Aceh. Tempat ini terdiri atas enam belas buah pondok dari yang terkecil hingga yang besar. Orang yang bermalam dalam tempat itu diperkirakan kurang lebih enampuluh orang.

Pada jam dua belas pasukan Mosselman tiba di Krueng Putoe. Karena banyak anggota pasukannya yang letih Mosselman memerintahkan agar Sersan Ribin dan enam anggota lainnya berjalan lambat-lambat di belakang untuk menyertai dan kemudian mengikuti Mosselman dari belakang. Agar tidak tersesat diharuskan menyertai mereka.

Dengan beranggotakan sepuluh orang. Mosselman terus saja bergerak cepat agar segera menemukan pasukan Aceh. Setelah bergerak agak lama, dua anggotanya datang dan melapor bahwa mereka tidak sanggup lagi bergerak karena keletihan. Mosselman kemudian meninggalkan kedua marsose yang keletihan itu dan menggantikan dengan seorang marsose yang masih kuat. Ia terus saja bergerak.

Pada suatu saat pasukan Mosselman tiba di bagian selatan Gunung Lipeh dan menurut perkiraannya tentulah pasukan laskar pejuang Aceh telah melintasi sungai ke tepi kanan. Setelah bergerak kian kemari selama kurang lebih seperempat jam sampailah mereka pada sebuah anak alur yang kecil. Di atas sebuah tumpukan pasir kembali dijumpai jejak-jejak kaki akibat kurang hati-hatinya salah seorang laskar pejuang Aceh.

Mosselman terus bergerak dan menyusuri sebuah alur, pada kira-kira pukul empat sore mereka melihat asap mengepul ke udara. Ketika Mosselman sedang bersiap-siap untuk mengintai, di hadapan mereka kira-kira dua ratus meter, ia melihat seorang pejuang Aceh yang sudah sangat tua sedang dilarikan dengan didukung oleh beberapa orang. Setelah Mosselman melihat bahwa orang yang sedang dilarikan, mereka memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya dengan melepaskan beberapa tembakan. Tembakan Belanda mengakibatkan orang tua tersebut jatuh serta menimbulkan kepanikan pada pasukan Cut Nyak Meutia. Orang tua yang syahid itu adalah seorang yang dianggap keramat yang bernama Teungku Supot Mata (Teungku Chik Paya Bakong).

Dengan syahidnya Teungku Chik Paya Bakong, terjadilah tembak-menembak yang seru antara pasukan Cut Nyak Meutia dengan pasukan Mosselman. Dalam tembak-menembak ini posisi Mosselman lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan posisi Cut Nyak Meutia, karena mereka dapat berlindung di balik batu-batu besar yang terdapat di sungai. Setelah melihat keadaan yang tidak menguntungkan, segera Cut Nyak Meutia mengambil keputusan untuk menyerbu dengan mempergunakan pedang, rencong dan lain-lain senjata. Ia sendiri tampil ke depan dengan memberikan komando. Cut Nyak Meutia memegang pedang yang telah dikeluarkan dari sarungnya sambil berteriak-teriak memberi komando kepada anak buahnya menerkam musuh yang berusaha menangkapnya. Walaupun ia menyadari bahwa dirinya telah terkepung rapat, tidak sedikitpun terlintas di wajahnya keragua-raguan. Akhirnya tiga butir peluru Belanda yang dilepaskan Mosselman mengenainya, sebutir di kepalanya dan dua butir di badannya. Ia rebah ke bumi. Syahid lah Srikandi Aceh yang tidak pernah kenal menyerah itu sebagai pahlawan bangsa, pada 25 Oktober 1910. Tempat syahid Cut Nyak Meutia bernama Pucuk Krueng Peutoe (hulu Krueng Peutoe).

Bersama Cut Nyak Meutia syahid pula Teungku Paya Bakong yang lebih populer dengan sebutan Teungku Mata Ie, Teungku Mat Saleh, dan lima orang pengawalnya. Teuku Raja Sabi yang oleh Zentgraaf disebut sebagai “Putra Si Rajawali” terlepas dari maut karena pada saat pertempuran sedang memancing di sungai. Dengan syahidnya Cut Nyak Meutia perjuangan rakyat Keurueteo belum berakhir. Karena Putra Si Raja Wali tetap meneruskan perjuangan bundanya.

Dengan demikian berakhirlah perjuangan Cut Nyak Meutia yang diteruskan oleh anaknya, walaupun perlawanan di daerah Keureutoe dan Pirak tidak berhenti sampai berakhirnya penjajahan Belanda di Aceh. [Sumber]
Share this article :

0 komentar:

 
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Visit Aceh - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Fuad Heriansyah
Copyright ©